ANALISIS SURAT AL-FATIHAH AYAT 6
DENGAN TERJEMAHAN TUNJUKILAH KAMI JALAN YANG LURUS,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan
Semesta alam yang senantiasa memberi banyak kenikmatan. Sholawat serta salam
kita tujukan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang sangat kita harapkan
syafaatnya di hari akhir nanti.
Surat Al Fatihah termasuk dalam surat makkiyah
yaitu surat yang diturunkan di Mekkah. Surat Al Fatihah merupakan surat pertama
dalam Al Qur an atau disebut sebagai surat pembuka. Surat Al fatihah Terdiri
dari atas 7 ayat.
Hafal terhadap surat Al Fatihah merupakan
kewajiban seorang setiap orang yang mengerjakan ibadah sholat, baik ketika
sholat sendiri, atau sebagai makmum ataupun sebagai Imam harus mengerti dan
paham Surat Alfatihah. Karena jika tidak membaca surat Al Fatihah maka
sholatnya tidak sah.
Nabi kita, sang suri tauladan kita yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ
الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلاَثًا غَيْرُ تَمَامٍ فَقِيْلَ لِأَبِيْ هُرَيْرَةَ:
إِنَّا نَكُوْنُ وَرَاءَ اْلإِمَامِ فَقَالَ: اِقْرَأْ بِهَا فِيْ نَفْسِكَ
فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَّمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ
نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ
Artinya :
“Barangsiapa yang melakukan sholat, sedang ia tak
membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) di dalamnya, maka sholatnya kurang (3X),
tidak sempurna”. Abu Hurairah ditanya, “Bagaimana kalau kami di belakang imam”.
Beliau berkata, “Bacalah pada dirimu (yakni, secara sirr/pelan), karena sungguh
aku telah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Allah
-Ta’ala- berfirman, “Aku telah membagi Sholat (yakni, Al-Fatihah) antara Aku
dengan hamba-Ku setengah, dan hamba-Ku akan mendapatkan sesuatu yang ia minta”.
[HR. Muslim (395), Abu Dawud (821), At-Tirmidziy (2953), An-Nasa’iy (909), dan
Ibnu Majah (838)]
Nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata
isti’aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang
tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Latin : ihdinaash shiraathaal mustaqiim
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus,
"Ihdi":
Pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah
Arti
"hidayah" ialah: Menunjukkan sesuatu jalan atau cara menyampaikan
orang kepada orang yang ditujunya dengan baik.
Ihdinash Shiratal al Mustaqim adalah permohonan pada Allah agar
ditunjukan ke jalan yang lurus. Hidayah yang dimohonkan dalam ssurat Al-Fatihah
ini tertuang dalam “tunjukilah kami ke jalan yang lurus lagi luas”. Menurut
sebagian Ulama merupakan hidayah, karena pada hakekatnya hidayah adalah ajaran
yang telah disampaikan para Nabi kepada seluruh manusia.
Hidayah Allah kepada manusia terdapat bermacam-macam
bentuk, diantaranya yaitu:
- Hidayah
dalam bentu Ilham
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah
dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari pelajaran, bukan pula
dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat
ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut
"garizah".
Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri"
(mempertahankan hidup). Kelihatan oleh kita seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah
terasa di bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai hilang
laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak seorang juga yang mengajarkan
kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanyalah semata-mata ilham dan
petunjuk dari Allah kepadanya untuk mempertahankan hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah membuat sarangnya, laba-laba
membuat jaringnya, semut membuat lobangnya dan menimbun makanan dalam lubang
itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut ialah untuk
mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan dorongan
nalurinya semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya garizah ingin tahu,
ingin mempunyai, ingin berlomba-lomba, ingin bermain, ingin meniru, takut dan
lain-lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada
faedahnya membunuhnya. Ada ahli pikir dan pendidik yang hendak memadamkan
garizah karena melihat seginya yang tidak baik (jahat) itu, sebab itu diadakan
oleh mereka macam-macam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak supaya
garizah itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi
perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan
akhlak anak-anak. Dan bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh garizah itu,
namun ia tidak akan mati.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam
garizah untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakai dengan cara bijaksana
oleh manusia itu.
- Hidayah
kepada panca indera
Karena garizah itu sifatnya belum pasti sebagai disebutkan di
atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah swt. manusia dilengkapi lagi dengan
pancaindra. Pancaindra itu sangat besar harganya terhadap pertumbuhan akal dan
pikiran manusia, sebab itu ahli-ahli pendidikan berkata:
الحواس أبواب المعرفة
Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu
pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan pancaindra itulah manusia dapat
berhubungan dengan alam yang di luar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam
yang di luar ini ke dalam otak manusia adalah pintu-pintu pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup
lagi
untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia.
Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari
alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma'qulat
(yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya dapat menangkap alam
mahsusat, tangkapannya tentang yang mahsusat itupun tidak selamanya betul,
kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa "illusi
optik" (tiupan pandangan), dalam bahasa Arab disebut,
"khida'an nazar". Sebab itu manusia membutuhkan
lagi hidayah yang kedua itu. Maka dianugerahkan lagi oleh Allah hidayah yang
ketiga, yaitu "hidayah akal".
- Hidayah
kepada akal
Dengan adanya akal itu dapatlah manusia menyalurkan garizah
ke arah yang baik agar garizah itu menjadi pokok bagi kebaikan, dan dapatlah
manusia membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan buruk dengan
baik. Malah sangguplah dia menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada
natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai
tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba
dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, maknawi dan gaib,
mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan begitulah
seterusnya.
Dengan demikian nyatalah bahwa garizah ditambah dengan
pancaindra ditambah pula dengan akal belum lagi cukup untuk menjadi hidayah
yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di
dunia dan akhirat.
Oleh karena itu manusia membutuhkan suatu hidayah lagi, di
samping pancaindra dan akalnya itu, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para
rasul `alaihimus shalatu wassalam. Didapatnyalah dengan akalnya bahwa Zat
yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada
jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu
yang dibutuhkannya untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib
itu, maka dipikirkannyalah bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi
itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara "menyembah Zat Yang Gaib
itu". Akan tetapi masalah bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib itu,
adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia.
Sebab itu di dalam sejarah kelihatan bahwa tidak pernah adanya keseragaman
dalam hal ini. Bahkan akal pikirannya akan membawanya kepada kepercayaan
membesarkan alam di samping membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan karena belum dapat dia
menggambarkan di otaknya bagaimana menyembah "Zat Yang Gaib", maka
dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, atau yang indah, atau yang
banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi pelambang bagi Zat
Yang Gaib itu. Pernah dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang,
atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnyalah benda-benda
itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan
diciptakannyalah cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu. Dengan
ini timbullah pula suatu macam kepercayaan, yang dinamakan "Kepercayaan
menyembah kekuatan alam", sebagai yang terdapat di Mesir, Kaldania,
Babilonia, Assyiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah bahwa manusia
menurut fitrahnya suka beragama, suka memikirkan dari mana datangnya alam ini,
dan ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana datangnya alam ini, akan
sampailah dia pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampailah dia
kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (tauhid), karena akidah (keyakinan)
tentang keesaan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas dipahami oleh akal
manusia. Karena itu dapatlah kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya
adalah beragama tauhid.
- Hidayah
berupa agama dan syari’at
Karena hal-hal yang disebutkan itu, maka diutuslah oleh Allah
rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang
harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka dunia dan akhirat. Adalah
yang mula-mula ditanamkan oleh rasul-rasul itu kepercayaan tentang adanya Tuhan
Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan
iktikad manusia dari kotoran syirik (mempersekutukan Tuhan). Rasul membawa
manusia kepada kepercayaan tauhid itu dengan melalui akal dan logika, yaitu
dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. (Ingatlah kepada
soal-jawab antara Nabi Ibrahim dengan Namruz, Nabi Musa dengan Firaun, dan
seruan-seruan Alquran kepada kaum musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan
akal).
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa,
rasul-rasul juga membawa kepercayaan tentang akhirat dan
malaikat-malaikat. Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian itu,
itulah yang dinamakan Al-Iman bil Gaib (percaya kepada yang gaib). Dan itulah
yang jadi pokok bagi semua agama Ketuhanan, dengan arti bahwa semua agama yang
datangnya dari Tuhan mempercayai keesaan Tuhan, serta malaikat dan hari
akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) yang disebutkan
itu, rasul-rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini
berlain-lainan, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama
dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa
tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sebabnya ialah
karena hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan
tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai
dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlain-lainan itu ialah hukum-hukum
furu` (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah
sama. Berhubung Muhammad saw. adalah seorang nabi penutup maka syariat
yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan
segala masa dan keadaan. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup
yang penghabisan, atau jalan kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan
Tuhan, tetapi adakah orang pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua
hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang dibentangkan oleh Tuhan. Tidak
banyak manusia yang pandai menerapkan agama, beribadat (menyembah Allah)
sebagai yang diridai oleh yang disembah, bahkan pelaksanaan syariat tidak
sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah memohonkan kepada-Nya agar
diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya serta diberi-Nya
taufik agar dapat memakai semua macam hidayah yang telah dianugerahkan-Nya itu
menurut semestinya. Garizah-garizah supaya dapat disalurkan ke arah yang baik,
pancaindra supaya berfungsi betul, akal supaya sesuai dengan yang benar,
tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksud oleh yang
menurunkan agama itu dengan tidak ada cacat, janggal dan salah. Tegasnya
manusia yang telah diberi Tuhan bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas
(garizah-garizah, pancaindra, akal dan agama) belum dapat mencukupkan
semata-mata hidayah-hidayah itu saja, tetapi dia masih membutuhkan ma`unah dan
bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya). Maka ma`unah dan bimbingan itulah
yang kita mohonkan dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah memberi kita
hidayah-hidayah tersebut, tak ubahnya seakan-akan Dia telah membentangkan di
muka kita jalan raya yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan
ukhrawi, maka yang dimohonkan kepada-Nya lagi ialah "membimbing kita dalam
menjalani jalan yang telah terbentang itu". Dengan ringkas hidayah
dalam ayat "ihdinassiratal mustaqim" ini berarti "taufik"
(bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik
ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga,
pikiran dan ikhtiar,karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban
kita, tetapi sampai berhasil sesuatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah.
Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Ayat
yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya supaya menyembah memohonkan
pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan
dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya.
Labels :
wallpapers
Mobile
Games
car body design
Hot Deal